Tanggal Rilis: 11 Mar 2024 | 17:00
Tags: Smong, Kearifan Lokal, Tsunami, Aceh
Penulis: Joshua Steven Yawan
Tsunami Aceh 2004 merupakan salah satu bencana alam terbesar sepanjang masa. Menurut data United States Geolocial Survey (USGS), Tsunami Aceh 2004 (M 9.1) merupakan gempa bumi terkuat ke-3 sepanjang masa setelah Gempa Bumi Chile 1960 dan Gempa Bumi Alaska 1964. Bencana alam ini juga telah menelan kurang lebih 230.000 korban jiwa. Tapi, tahukah kamu bahwa ada satu desa yang “selamat” karena kearifan lokal-nya? Menurut catatan Jurnal Ilmu Kebencanaan (JIKA) Universitas Syiah Kuala, Pulau Simeulue merupakan salah satu wilayah yang terdampak cukup besar, bangunan hancur, akan tetapi jumlah korban di pulau ini hanya mencapai angka 7 orang dan sisanya berhasil selamat. Apa penyebabnya?
Enggel mon sao surito… (Dengarlah sebuah cerita)
Inang maso semonan… (Pada zaman dahulu)
Manoknop sao fano… (Tenggelam satu desa)
Uwi lah da sesewan… (Begitulah mereka ceritakan)
Unen ne alek linon… (Diawali oleh gempa)
Fesang bakat ne mali… (Disusul ombak yang besar sekali)
Manoknop sao hampong… (Tenggelam seluruh negeri)
Tibo-tibo mawi… (Tiba-tiba saja)
Syair di atas merupakan peringatan terhadap sebuah peristiwa alam yaitu smong. Syair ini diciptakan oleh Muhammad Riswan alias Moris, salah satu tokoh adat dan pemerhati budaya Simeulue sebagai peringatan akan kejadian yang menimpa masyarakat Aceh pada tahun 1907 silam, yaitu ketika gempa dengan magnitude 7,6 menyebabkan tsunami yang menghabisi seluruh pesisir pulau Simeulue dan memakan ribuan korban. Sejak saat itu, istilah atau kata Smong semakin familiar di kalangan masyarakat Simeulue. Smong diartikan sebagai hempasan gelombang air laut.
Pada awalnya, cerita tentang Smong ini diceritakan secara turun temurun melalui nafi-nafi (budaya lokal masyarakat Simeulue berupa adat tutur/cerita yang berisi pesan dan nasehat untuk anak-anak) atau yang pada masa ini kita kenal dengan istialh Dongeng. Para tetua yang biasa memanen cengkeh bersama anak-anaknya akan bercerita tentang Smong sebagai pengisi waktu. Seiring berkembangnya zaman, Smong mulai diceritakan di kelas-kelas mengaji, bahkan hingga menjadi dongeng dan lantunan sebelum tidur yang digunakan orang tua untuk menidurkan anaknya.
Saat tsunami yang melumat hampir 250 ribu jiwa tersebut terjadi, masyarakat Simeulue masih memegang erat kearifan lokal Smong tersebut menjadikan masyarakat pulau tersebut peka dan siap jika sewaktu-waktu Smong atau Tsunami melanda tempat mereka. Syair mengenai Smong 2004 di Aceh ini kemudian diriwayatkan ke dalam budaya bertutur, dan beginilah syairnya:
Aher tahön duo ribu ampek (Akhir tahun dua ribu empat)
Akduon mesa singa mangilla (Tidak ada yang mengetahui)
Pekeranta rusuh masarek (Pikiran kita kalut semua)
Aceh fulawan nitimpo musibah (Aceh emas ditimpa musibah)
Sumeneng bano tandone linon (Senyap alam tandanya gempa)
Huru-hara ata bak kampöng (Huru hara orang dalam desa,)
Mataöt ata mangida smong (Takut akan datang tsunami)
Bakdö nga tantu bano humoddöng (Tidak tentu arah berlarian.)
Huru-hara ata bak kampöng (Huru-hara orang dalam desa)
Mataöt ata smong ne malli (Takut orang tsunami besar)
Molongang tantu bano humoddöng (Sudah tentu tempat berlari)
Delok sibau rok tanggo basi (Gunung Sibao di tangga basi)
Sumber: Jurnal Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala.
Sebagai generasi muda, kita harus terus menggali dan melestarikan kearifan lokal yang ada di daerah kita masing-masing. Setiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang mungkin kita anggap kuno atau ketinggalan zaman, tetapi percaya atau tidak sebagian besar dari kearifan lokal itu menceritakan tentang pentingnya hidup berkelanjutan.
Kalau kearifan lokal di daerahmu tahu atau tidak? Yuk, cari tahu!
“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.” – Marcus Garvey
Share this Articles
Villa Hejo Kiarapayung, Kp. Kiarapayung, RT 004 RW 004, Desa/Kec. Panggarangan, Kab. Lebak, Banten - 42392
Copyright 2025, GMLS. All Rights Reserved.